Dalam pandangan Dudung Aliesyahbana, membatik bukan sekadar keterampilan menuang malam panas di atas kain, melainkan perjalanan batin yang dalam — sebuah mikrokosmos yang merefleksikan hubungan manusia dengan semesta dan Tuhannya. Batik baginya adalah media untuk memayu hayuning bawana — memperindah yang sudah indah, mempercantik yang sudah cantik. Karena, menurutnya, kodrat manusia memang diciptakan Tuhan untuk memberi makna dan keindahan pada kehidupan.
Dalam Islam, nilai itu sejalan dengan prinsip khairunnas anfa’uhum linnas — sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Bagi Dudung, keduanya bertemu dalam filosofi batik: ketika seorang pembatik menulis dengan hati, ia bukan hanya mencipta motif, tetapi juga memanifestasikan nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam satu tarikan canting.
Namun, perjalanan itu bukan perkara mudah. Ia menyebutnya sebagai proses manunggaling kawula lan Gusti dalam konteks profesional — bukan teologis. Pembatik yang “sampai” bukan berarti bersatu dengan Tuhan secara literal, tetapi mencapai titik kesadaran tertinggi dalam berkarya: mengenal dirinya sendiri, mengenal rasa yang paling jujur, dan menghadirkan Tuhan dalam setiap garis dan warna.
“Membatiklah dari rasa yang kamu rasakan, bukan rasa yang orang lain rasakan,” ujarnya. Batik bukan sekadar mengikuti keinginan, melainkan menuruti “kehendak” batik itu sendiri, tambahnya.
Dalam pandangan Dudung, seorang pembatik sejati berjuang menemukan batik sebagaimana batik ingin hadir dalam dirinya — sama seperti manusia yang berjuang menemukan Tuhan sebagaimana Tuhan ingin hadir dalam dirinya. Intuisi menjadi kompas dalam perjalanan ini. Tapi bila intuisi dikuasai oleh dorongan ekonomi, ambisi, atau gengsi, maka batik hanya akan menjadi komoditas, kehilangan ruhnya.
Dudung mengingatkan, jangan biarkan insting liar menguasai proses berkarya. Seorang pembatik harus mampu “menghadiri majelis dirinya sendiri” — menyatu dengan rasa, menundukkan ego, dan membiarkan batik menuntunnya. Di titik itulah, karya lahir bukan dari keinginan manusia, melainkan dari ilham yang halus, dari dialog sunyi antara batin dan Tuhan.
Ia menutup refleksinya dengan kerendahan hati: “Saya tidak mengatakan bahwa karya saya yang terbaik. Ini belum karya, ini baru ide.”
Kalimat sederhana itu justru menjadi penanda kematangan spiritual — bahwa dalam batik, seperti dalam hidup, proses jauh lebih berharga daripada hasil.