https://tk.tokopedia.com/ZShCCaaWK/
in ,

Taufan Hunneman: Anak Kolong, Komisaris BUMN, dan Batik

Taufan Hunneman, eks aktivis 1998 kini Komisaris BUMN. Dari anak kolong, dunia energi, hingga batik sebagai simbol budaya bangsa.

Pikirannya dituangkan lewat tulisan, menghiasi beberapa media online. Kegemarannya menulis dan belajar menghasilkan banyak buku. Komisaris BUMN di PT Pertamina EP Cepu Taufan Hunneman merupakan eks aktivis 1998 yang kini mendedikasikan diri berkiprah menjalankan kegiatan bisnis BUMN.

Kenangan Masa Muda

Setiap Sabtu, ia dan teman-temannya punya agenda wajib: pesta. Tempat nongkrongnya pun berganti-ganti. “Itulah masa-masa nakal kita,” ujarnya, mengenang dengan senyum tipis.

Baginya, masa lalu bukan sesuatu yang perlu ditutupi. “Nggak apa-apa. Masa lalu nggak boleh diumpetin. Harus diserapin, karena kita pernah ada di situ. Yang penting sekarang tidak,” katanya mantap.

Sebagai anak tentara, kenakalan itu seolah jadi kontradiksi. Disiplin di rumah, tapi liar di luar. “Ya namanya juga anak tentara. Katanya sih nggak ada yang bandel, tapi kenyataannya kita bandel juga,” tambahnya.

Warisan Keluarga yang Terbelah

Kisah keluarganya bagaikan cermin sejarah Indonesia. Sang kakek berdarah Jerman, nenek dari Kediri-Manado. Pasca 1945, rumah keluarga di Stovia diserbu massa. Sang nenek terpaksa pindah ke Belanda dalam keadaan hamil, sementara sang kakek tetap bertahan dengan bisnis pengadaan kabel listrik.

Arus nasionalisasi kemudian membuat bisnis orang Eropa gulung tikar. Beberapa anggota keluarga ikut gerakan Permesta, ada yang hijrah ke Amerika atau tetap di Belanda. Ayahnya memilih berbeda: melepas kewarganegaraan Belanda, masuk TNI di Kalijati, dan mengabdi pada NKRI. “Keluarga terpecah dua, tapi Bapak saya yang golongan Eropa tetap pilih Indonesia,” ujarnya bangga.

Dari garis ibu, trauma lain tersimpan. Keluarganya terbilang sering bersitegang dengan PKI karena kakeknya yang seorang polisi dan juga pedagang sering jadi bulan-bulanan underbouw PKI.

“Dari kecil kami dipaksa nonton film G30S. Ibu sampai marah-marah, teriak ‘Dasar PKI lo!’ saat adegan pembunuhan jenderal. Jadi sejak kecil kami sudah ditanami benci PKI oleh ibu,” katanya. Dan itulah perjumpaan dirinya dengan peristiwa politik di masa kecil dari kalangan keluarga.

Dari Bali ke Aktivisme Kampus

Kesadaran kritisnya mulai muncul saat kelas satu SMA, ketika study tour tahun 1990 ke Bali membuka mata tentang kemiskinan. “Di Halim kita nggak pernah lihat gubuk, semua serba layak. Tiba-tiba lihat kemiskinan, saya kaget,” ujarnya.

Kesadaran politiknya muncul saat kedatangan pamannya dari Belanda, Jhon Ulrich Luncien Hunneman, yang menjadi tempat bertanya dan berbagi cerita tentang fenomena sosial yang dilihatnya, baik diskusi maupun bersurat-suratan.

Masuk era kuliah di 90-an, ia kian dekat dengan dunia aktivis. Dari kelompok studi Unas hingga bergabung dengan jaringan PRD, ia pernah mencicipi gerakan bawah tanah PRD, bahkan masuk ke squad radikal Aldera dengan gerakan non konvensionalnya, yakni latihan merakit bom.

“Untungnya ketahuan dan diputus,” ujarnya.

Ia mengakui, bila tidak, mungkin jalan hidupnya akan berbahaya. Ia justru melihat peran Prabowo Subianto kala itu sebagai penahan agar republik tidak hancur karena radikalisme mahasiswa.

Reformasi 1998 baginya adalah puncak. Setelah itu, ia memilih berhenti turun ke jalan. “Reformasi sudah selesai, tinggal kita isi. Buat apa demo terus?” katanya.

Dari Jalanan ke Struktur

Pasca Reformasi, arah perjuangan berubah. “Setelah 2002 saya berhenti ikut aksi jalanan. Reformasi sudah tercapai, tinggal kita isi sistemnya.”

Ia lalu bersentuhan dengan dunia politik lewat Rocky Gerung dan Denny J.A, ikut membantu SBY, bahkan sempat duduk sebagai wakil ketua Partai Demokrat tahun 2009. Tapi pengalaman itu membuatnya sadar, politik terlalu mahal. “Modalnya miliaran. Saya lebih pilih pendidikan anak daripada bakar duit di politik,” tegasnya.

Ia sempat mencoba masuk partai politik di 2009 dan meraih suara signifikan, ia memilih berhenti. Baginya, perbaikan sistem lebih penting daripada mengejar jabatan politik.

Jejak Profesional: Dari LBH hingga BUMN

Selepas masa aktivisme, ia meniti jalur profesional. Pernah bekerja di LBH Jakarta, asuransi, hingga pelabuhan. Kariernya kemudian menanjak di perusahaan-perusahaan energi dan minyak, sampai menjabat komisaris di beberapa joint venture BUMN–asing.

Pengalaman paling berat adalah saat masuk Pertamina Hulu Indonesia, pasca-terminasi kontraktor asing. “Bayangkan, empat perusahaan dijadikan satu, tiga asing dan Pertamina. Kultur beda, sumur-sumur declining. Itu tantangan berat,” ungkapnya. Tapi di situlah ia ditempa menjadi problem solver.

Dalam banyak penugasannya, ia kerap masuk pada masa kritis: perusahaan asuransi yang harus diselamatkan, saham yang berubah, proyek mangkrak, hingga restrukturisasi besar. Ia merumuskan kunci keberhasilannya pada tiga hal: komunikasi egaliter, ide out of the box, dan bekal ilmu hukum–filsafat–manajemen yang ia pelajari.

“Tantangan di BUMN itu berat. Keputusan bisnis sering dianggap kerugian negara. Akhirnya orang-orang hebat cuma berani rutinitas. Takut diskresi ditafsir macam-macam,” jelasnya.

Taufan Hunneman, eks aktivis 1998 kini Komisaris BUMN. Dari anak kolong, dunia energi, hingga batik sebagai simbol budaya bangsa.
Taufan Hunneman, eks aktivis 1998 kini Komisaris BUMN. Dari anak kolong, dunia energi, hingga batik sebagai simbol budaya bangsa.

Akademisi, Filsafat, dan Energi

Pendidikan baginya bukan sekadar gelar. Ia mengawali minat di filsafat, lalu masuk hukum, kemudian melanjutkan S2 hukum bisnis, hingga S3 administrasi bisnis. Ia juga mendalami filsafat ketuhanan. “Saya ingin memahami sisi manusia dan sisi spiritualnya,” jelasnya.

Kini ia aktif menulis, dari bunga rampai tentang energi hingga geopolitik migas. Baginya, energi adalah kunci kedaulatan bangsa, sejajar dengan militer dan kepolisian. “Negara yang kuat harus punya energi yang kuat,” tegasnya.

Ia banyak bicara soal energi. “Negara kuat itu bukan cuma militer, tapi juga energi. Nuklir itu aman, hemat, teknologinya sudah maju. Kalau Indonesia mau berdaulat energi, harus berani diversifikasi,” katanya penuh keyakinan.

Politik: Trial, Bukan Jalan Hidup

Meski sempat mencoba masuk partai politik di 2009 dan meraih suara signifikan, ia memilih berhenti. “Politik itu mahal, minimal 3 miliar untuk satu kursi DPR. Mending buat pendidikan anak,” katanya. Baginya, perbaikan sistem lebih penting daripada mengejar jabatan politik.

Ia memandang demokrasi Indonesia masih timpang. “Musyawarah mufakat itu siapa yang bermusyawarah? Hari ini cuma DPR dari partai. Harusnya MPR ada wakil raja, TNI, Polri, agama, budaya, anak muda. Kalau tidak, mufakatnya timpang,” ujarnya.

Karena itu, ia memilih jalur analisis, tulisan, dan profesionalisme ketimbang politik praktis. “Politik ideal itu dijalankan orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri,” katanya lugas.

Batik, Cipta Budaya Tertinggi

Di balik semua perjalanan, ada satu hal yang ia pegang teguh: batik. Sejak kecil ia terbiasa melihat ibu mengenakan kebaya batik, ayah memakai batik ke undangan, hingga dirinya sendiri kerap memakai batik dan blangkon.

“Batik itu ciptaan budaya tertinggi. Ada bahasanya—ada yang untuk istana, ada untuk undangan, tapi juga egaliter karena semua bisa memakainya. Di Minahasa, Batak, Bojonegoro, Bali, Kupang—semua punya batik atau tenun dengan simbolisasi batik. Batik itu pemersatu bangsa,” ujarnya.

Ia pun memberi pesan untuk para pengrajin batik yang kini terhimpit kontraksi ekonomi. Menurutnya, ada tiga langkah penting: batik harus dilindungi, diprioritaskan pemodalan, dan diperkuat pasarnya.

“Pemerintah bisa kasih ruang di mal, stasiun, MRT, atau rest area. Tapi fokusnya batik asli, bukan printing pabrikasi. Kalau itu dilakukan, pengrajin bisa bertahan, dan batik tetap jadi simbol peradaban kita,” pungkasnya.

Foto: Kuncoro Widyo Rumpoko & Dok. Pribadi

Written by Batiklopedia

Batiklopedia.com merupakan portal berita spesialis yang mengangkat isu seputaran dunia batik dan wastra Nusantara. Tujuan awal pembuatannya adalah untuk mendokumentasikan pelbagai hal berkaitan dengan upaya pelestarian dan pengembangan batik Indonesia.

Menteri Perdagangan luncurkan Desa BISA Ekspor di Jembrana, berharap desa jadi motor penggerak ekspor via produk unggulan BUM Desa.

Menteri Perdagangan Luncurkan Program Desa BISA Ekspor di Jembrana, Bali

Menbud Fadli Zon kunjungi Desa Bayan, terima gelar adat Datu Pangeran Mas Dipati, dorong pelestarian budaya dan wisata warisan lokal.

Menbud Fadli Zon Kunjungi Desa Bayan, Dapat Anugerahkan Gelar Adat dan Dorong Pelestarian Budaya