“Himpunan Humas Hotel (H3) Bandung sudah lama ada,” tutur sang ketua Himpunan Humas Hotel Bandung periode 2024 – 2026 Juwita Agatari membuka percakapan. Senyumnya mengembang, lanjut menegaskan bahwa organisasi ini bukan sekadar perkumpulan formal, tapi sebuah rumah bagi para markom hotel di Bandung.

Ia kemudian bercerita, “Saya sendiri menjabat sebagai ketua sejak 2024, untuk periode dua tahun (terakhir 2026). Setiap periode memang dua tahun sekali. Sekarang anggota kami sudah lebih dari 90 hotel, dari bintang tiga ke atas sampai butik hotel.”
Nama-nama besar seperti Trans, Puma, hingga jaringan internasional pun masuk dalam barisan. Bedanya dengan IHGMA (Indonesian Hotel General Manager Association) yang berisi para general manager, Humas Hotel Bandung ini adalah wadah untuk para praktisi komunikasi dan pemasaran hotel.
“Di dalamnya, kita update soal marketing, sharing tentang media, dan belajar bareng. Karena dunia hospitality itu punya pendekatan sendiri terhadap media, beda banget kalau dibandingkan dengan industri lain,” jelasnya.
Belajar Bersama di H3 Academy
Ia mengingat masa lalu saat bekerja di Indosat. “Pendekatan dengan media itu beda sekali. Kalau di hotel, yang dijual bukan hanya produk, tapi juga hospitality. Makanya media relations itu kunci.”
Untuk menjawab kebutuhan itulah mereka mendirikan H3 Academy. “Kita bikin kelas menulis press release, teknik negosiasi, public speaking, sampai pemanfaatan AI. Banyak markom yang masih baru, jadi kita bekali keterampilan praktis. AI sekarang jangan dianggap musuh. Justru kalau kita bisa kendalikan, AI itu bisa jadi alat bantu yang luar biasa. Yang penting tetap ada sentuhan manusianya—touch of humanity.”
Selain itu, ada pula H3 Charity. Bulan Ramadan lalu, misalnya, mereka berkolaborasi dengan komunitas media Info Bandung untuk membagikan paket berbuka di pinggiran kota. “Komunikasi yang baik itu harus punya dampak, bukan hanya untuk industri, tapi juga masyarakat sekitar,” katanya.
Networking, Kolaborasi, dan Influencer
Perbincangan berlanjut ke soal tren pemasaran. “Dekat dengan influencer itu tetap penting,” ujarnya mantap. “Karena manusia pada dasarnya lebih percaya pada omongan orang lain. Tapi tantangannya adalah memilih influencer yang tepat. Sekarang banyak sekali yang mengaku-aku influencer. Di situlah tugas kita, memilah siapa yang relevan dengan pasar kita.”
Ia percaya networking adalah senjata utama. “Dulu zaman bekerja di provider, marketing itu saling simpan strategi. Tapi di Himpunan Humas Hotel Bandung, justru kita berbagi. Misalnya ada artis atau event yang tidak bisa ditangani satu hotel, ya dilempar ke hotel lain. Kita saling support. Simbiosis lah istilahnya.”

Tantangan: Dari Regulasi hingga Pasar
Namun jalan tentu tak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar adalah regulasi pemerintah yang membatasi meeting di hotel. “Itu membuat kita harus kreatif mencari pengganti pasar. Kita dorong event-event besar, kita gandeng UMKM, bahkan kita dukung pariwisata lokal. Karena turis Bandung itu tidak bisa hanya bergantung pada MICE.”
Masalah lain adalah aksesibilitas. Sejak tidak ada penerbangan internasional langsung ke Bandung, wisatawan mancanegara lebih memilih transit ke Yogyakarta atau Bali. “Padahal Bandung potensial. Tapi ya karena jauh, akhirnya mereka skip. Itu yang masih jadi ‘pr’ kita bersama pemerintah.”
South of Bandung: Mengubah Mindset
Lalu bagaimana dengan strategi menghadapi situasi ini? Ia menyebut satu kampanye yang tengah digarap: South of Bandung. “Kita ingin menormalisasi Pasir Koja, Ciwidey, dan Pangalengan sebagai destinasi baru. Orang sering anggap daerah selatan itu jauh atau kurang menarik. Padahal, akses ke tol dekat, ke Ciwidey lebih cepat. Tinggal bagaimana kita membungkus ceritanya.”
Ia mencontohkan pengalamannya di Singapura. “Dulu saya booking hotel di Geylang, taunya daerah itu punya stigma negatif. Tapi hotel berhasil membangun narasi bahwa lokasi itu dekat ke mana-mana. Saya percaya, branding bisa mengubah persepsi. Sama halnya dengan Pasir Koja dan selatan Bandung.”
Harapan: Solid dan Humanis
Di akhir perbincangan, ia menekankan pentingnya membangun relasi, terutama dengan media. “Kadang anak-anak Gen Z merasa semua bisa dicari sendiri lewat digital. Padahal, di dunia PR, hubungan personal itu vital. Satu telepon dari teman media bisa menyelamatkan reputasi hotel ketika ada isu sensitif.”
Baginya, menjadi markom bukan sekadar profesi, tapi juga seni menjalin relasi. “Orang lihatnya kita cuma ngobrol-ngobrol. Padahal itulah inti PR—public relation. Kita menjalin networking. Karena di hospitality, kita tidak bisa jalan sendiri. Harus bareng-bareng.”
“Harapan saya, Humas Hotel Bandung semakin solid. Kita tumbuh bersama, saling dukung. Karena pada akhirnya, yang kita jual bukan hanya kamar hotel, tapi cerita, pengalaman, dan hubungan,” pungkasnya.
Foto: Kuncoro Widyo Rumpoko

