Kewirausahaan budaya kini menjadi denyut baru dalam ekonomi kreatif Indonesia. Ia bukan sekadar menjual produk tradisional, melainkan menghidupkan kembali nilai dan cerita di balik setiap karya. Dari batik, tenun, kuliner, hingga ritual lokal—semuanya bisa menjadi sumber inspirasi sekaligus peluang ekonomi.
Dalam tiga tahun terakhir (2022–2025), digitalisasi, keberlanjutan, dan kolaborasi lintas-sektor mendorong wajah baru usaha budaya di tanah air.
Para pelaku batik kini tak lagi bergantung pada toko fisik. Mereka menjual secara langsung ke pelanggan global lewat marketplace dan media sosial, dengan sentuhan narasi budaya yang kuat. Kolaborasi antara desainer muda dan pengrajin lokal melahirkan karya-karya kontemporer yang tetap berakar pada nilai tradisi. Namun, di balik peluang itu, muncul pula tantangan: bagaimana menjaga otentisitas dan memastikan manfaat ekonomi juga kembali ke komunitas asal?
Tren global menegaskan bahwa produk berbasis warisan kini dilirik karena memiliki value sosial dan emosional yang tinggi. Produk fesyen, kriya, dan kuliner yang berpegang pada prinsip keberlanjutan serta narasi budaya yang jujur justru memiliki daya saing di pasar premium. Peluang baru terbuka: mulai dari lisensi motif, wisata budaya, hingga platform digital edukasi. Semua itu menegaskan bahwa wirausaha budaya bukan sekadar bisnis, melainkan gerakan — yang menjaga warisan sambil menumbuhkan ekonomi kreatif bangsa.

