“2024 itu mode bertahan hidup.”
Kalimat itu diucapkan Heri Kismo Rusimo, Ketua P3BC (Paguyuban Perajin dan Pengusaha Batik Cirebon), ketika ditanya tentang kondisi batik belakangan ini.

Menurutnya, tahun 2023 sempat memberi harapan besar: Ia menyebutnya masa recovery terbaik setelah pandemi. Tapi memasuki 2024, keadaan berubah drastis. Bukan hanya batik, melainkan hampir semua sektor retail ikut terpukul. Mal banyak yang tutup, toko-toko pindah ke lokasi dengan sewa lebih murah, dan para pembatik pun harus mencari cara untuk tetap eksis.
“Idealisme boleh, tapi hidup harus tetap berjalan,” ujarnya. Bahkan, kalau ada order printing sekalipun, P3BC memilih mengerjakannya sendiri. Minimal, kata Heri, order itu dikerjakan oleh orang batik, bukan pihak luar yang tak paham dunia ini.
Stabil Tapi Belum Pulih
Memasuki 2025, situasinya sedikit lebih tenang. Heri menyebut kondisi P3BC sejak kuartal pertama hingga kuartal ketiga tahun ini “stabil”. Penjualan tidak melonjak, tapi juga tidak merosot drastis—bertahan di angka 50–56%.
Meski demikian, ia sadar bahwa mode survival belum berakhir. Bedanya, kini ada ruang untuk adaptasi. “Kami harus menyesuaikan diri dengan perubahan pasar,” ujarnya.
Gen Z dan Paradigma Baru Konsumen Batik
Perubahan terbesar datang dari sisi konsumen. Generasi Baby Boomer dan X—yang dulu rela membayar batik Rp 3 hingga 10 juta—kini bukan lagi pasar utama. Generasi Z telah mengambil alih, dengan karakter dan daya beli yang sangat berbeda.
“Buat mereka, batik di atas Rp 1 juta itu sudah terlalu mahal,” kata Heri. Data dari marketplace seperti Shopee dan Tokopedia membuktikan: produk batik dengan harga Rp 100 ribu sampai Rp 300 ribu justru menjadi yang paling laris.
Selain soal harga, preferensi Gen Z juga unik. Mereka tak terlalu peduli dengan filosofi atau storytelling batik. Yang mereka cari adalah hal-hal praktis: warna pastel, cutting simpel, longgar, dan nyaman dipakai.
“Batik bagi mereka bukan kebutuhan, tapi selera. Mereka baru merasa ‘butuh’ kalau di kantor ada aturan wajib pakai batik,” jelas Heri.
Siap Berinovasi

Jika pasar yang berubah menjadi tantangan, maka produksi justru tidak terlalu bermasalah. “Kendalanya lebih ke permintaan, bukan produksi,” ujar Heri.
Workshop P3BC bahkan sudah terbiasa melakukan inovasi. Dari teknik pewarnaan soft hingga eksperimen baru terus dicoba. Beberapa di antaranya adalah:
- Teknik kusak, memakai alat sederhana mirip proses membuat tahu, menghasilkan motif khas.
- Teknik gosok/instan, menggunakan pewarna lebih gelap dari warna dasar untuk mencetak pola langsung.
- Teknik kombinasi cat, memadukan cat dengan pola batik tradisional.
Selain itu, teknologi AI juga mulai ikut bermain dalam desain batik. AI mampu menciptakan desain kompleks dalam hitungan menit. Namun, tidak semua desain bisa langsung diterjemahkan ke kain.
“Tetap harus ada penyesuaian. Kalau semua orang hanya bicara cuan, batik bisa kehilangan rohnya. Batik itu tetap harus dibuat dengan malam panas,” tegasnya.
Tiga Pilar P3BC ke Depan
Di tengah segala perubahan, Heri menegaskan bahwa P3BC akan terus menjaga tiga pilar utama:
- Kolaborasi – antar pembatik harus saling dukung, bukan sekadar bersaing.
- Sinergi – membangun kerja sama dengan institusi pemerintahan seperti BUMN, pemerintah pusat, kementerian, dan pemerintah daerah.
- Berbagi – para pembatik yang sudah mapan harus membantu yang baru mulai, misalnya lewat makloan, berbagi desain, atau membantu menjualkan produk mereka.
Heri sadar, masa depan batik ada di tangan generasi muda, baik dari sisi produsen maupun konsumen. Maka tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana membuat Gen Z tertarik, tanpa mengorbankan ruh batik itu sendiri.
“Kalau bukan orang batik yang menjaga idealisme, siapa lagi?” katanya menutup perbincangan.
Foto: Kuncoro Widyo Rumpoko

