Kewirausahaan budaya kini menjadi ujung tombak ekonomi kreatif Indonesia. Namun, di balik potensi besar itu, para pelakunya menghadapi lima tantangan utama: akses pasar dan branding, skalabilitas produksi, pembiayaan, keterbatasan data, serta dilema antara konservasi dan komersialisasi.
Akses pasar dan branding sering kali menjadi hambatan pertama. Produk budaya seperti batik, anyaman, atau kuliner tradisional sulit bersaing di pasar modern karena lemahnya narasi produk dan strategi pemasaran digital. Sementara itu, produksi tradisional yang padat karya membuat skala usaha sulit berkembang tanpa mengorbankan kualitas.
Dari sisi pembiayaan, banyak pelaku budaya kesulitan mengakses kredit formal karena bisnis mereka dianggap berisiko tinggi dan tidak memiliki jaminan yang cukup. Kurangnya data dan pengukuran dampak juga membuat perumusan kebijakan berbasis bukti menjadi sulit. Akibatnya, potensi besar ekonomi budaya belum tergarap maksimal.
Tantangan terakhir muncul dalam menjaga keseimbangan antara nilai autentik budaya dan tuntutan pasar. Komersialisasi yang berlebihan berpotensi menggerus makna kultural, sementara terlalu konservatif dapat menutup peluang ekonomi.
Riset ini merekomendasikan langkah strategis seperti program inkubasi branding, skema pembiayaan mikro adaptif, sistem monitoring berbasis indikator budaya, dan perlindungan HKI kolektif. Dengan intervensi terintegrasi, kewirausahaan budaya dapat tumbuh menjadi ekosistem berdaya saing yang tetap berpijak pada kearifan lokal.

