https://tk.tokopedia.com/ZShCCaaWK/
in

Webinar APPBI: Perjalanan Batik Bayat dan Semangat Rukun Bersinergi

Webinar APPBI menelusuri perjalanan Batik Bayat bersama Lutfi Koriah Yunani, menghidupkan kembali semangat rukun dan sinergi tradisi.

Batik Bayat tidak hanya selembar kain, tetapi juga cerita panjang tentang peradaban lokal, spiritualitas, dan daya hidup masyarakatnya. Di masa lalu, Bayat dikenal sebagai pusat kebudayaan di lereng selatan Klaten, tempat bertemunya nilai tradisi dan inovasi rakyat. Kini, semangat itu kembali dihidupkan melalui webinar “Batik Bayat: Rukun Bersinergi”, bagian dari seri The Journey Continues Batik yang diinisiasi oleh Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI).

Acara yang berlangsung pada Sabtu, 25 Oktober 2025 pukul 10.00–12.00 WIB via Zoom ini menghadirkan suasana hangat dan penuh makna. Agus Purwanto, selaku host, membuka jalannya webinar dengan refleksi tentang pentingnya menelusuri kembali akar budaya dalam dunia industri kreatif. “Bayat bukan sekadar nama tempat,” ujarnya, “tetapi juga sumber inspirasi bagi kebangkitan batik Indonesia.”

Wayan Lessy, Sekretaris Komunitas Cinta Batik Indonesia (KCBI) Cabang Singapura
Wayan Lessy, Sekretaris Komunitas Cinta Batik Indonesia (KCBI) Cabang Singapura

Diskusi yang dimoderatori oleh Wayan Lessy, Sekretaris Komunitas Cinta Batik Indonesia (KCBI) Cabang Singapura, berjalan dinamis. Wayan mengajak peserta untuk melihat batik tidak hanya dari aspek estetika, tetapi juga dari nilai sosial, sejarah, dan ekonomi kreatif yang melingkupinya. “Batik Bayat adalah kisah tentang bagaimana perempuan, desa, dan spiritualitas bisa berkelindan menjadi kekuatan ekonomi,” ungkapnya.

Namun sorotan utama siang itu jatuh pada sosok muda inspiratif: Lutfi Koriah Yunani, pendiri Cemethik Studio, yang menjadi narasumber utama. Lahir di Klaten pada 1998, perempuan yang akrab disapa Mbak Kori ini merupakan representasi nyata dari generasi Z yang tak hanya mewarisi tradisi, tapi juga menafsirkan ulangnya untuk zaman baru.

Dari Jogonalan ke Bayat: Jejak Awal Perjalanan Seorang Pembatik Muda

Dalam paparannya, Kori menceritakan perjalanan pribadinya yang sarat makna. Lahir dari keluarga sederhana di Jogonalan, ia tak memiliki latar belakang seni ataupun batik. Ibunya seorang pedagang tahu di pasar, namun memiliki pandangan jauh ke depan: bahwa anaknya harus memiliki keterampilan yang dapat menjadi bekal hidup. Karena itulah, Kori disarankan untuk masuk ke SMK Negeri 1 ROTA Bayat, sekolah binaan Reach Out to Asia yang didirikan pasca gempa Yogyakarta 2006 untuk menghidupkan kembali tradisi batik dan kerajinan gerabah.

“Awalnya saya tidak bisa menggambar sama sekali,” kenangnya sambil tersenyum. “Tapi ketika melihat karya kakak kelas di ROTA, saya merasa batik itu indah sekali. Sejak saat itu, saya mulai jatuh cinta.”

Perjalanan dari rumah ke sekolah menempuh jarak 14 kilometer setiap hari. Meski berat, tekadnya menguat seiring waktu. Di ROTA, ia mempelajari dasar-dasar kriya tekstil, memahami filosofi motif, hingga belajar disiplin dalam proses membatik. Bayat, yang semula hanya ia kenal sebagai daerah pegunungan, perlahan membuka rahasia: desa ini menyimpan sejarah panjang batik yang berakar dari spiritualitas Sunan Pandanaran (Sunan Tembayat).

Lutfi Koriah Yunani, Semangat Generasi Z di Balik Cemetik Studio
Lutfi Koriah Yunani, Semangat Generasi Z di Balik Cemetik Studio

Membangun Cemetik Studio: Dari Satu Selendang ke Gerakan Sosial

Selepas SMK, Kori melanjutkan studi ke Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Batik dan Fashion. Di sinilah langkah profesionalnya dimulai. Ia mendapat kesempatan magang di Hot Wax Studio Pekalongan, tempat ia belajar langsung dari desainer Bayu Arya. Di sana, Kori diberi kebebasan penuh untuk menciptakan karya. Hasilnya, lahirlah sebuah selendang berjudul “Sekar Murai”—dan tak disangka, karya itu terjual lewat media sosial.

“Dari satu selendang itu, saya dapat modal untuk membeli kain sutra dan mulai membuat karya baru,” tuturnya. Dari sinilah lahir Cemetik Studio pada akhir tahun 2019. Nama Cemethik diambil dari dua kata: cemeti (cambuk) dan memetik, simbol semangat kerja keras dan hasil dari ketekunan.

Pandemi COVID-19 yang datang awal 2020 justru menjadi momentum kebangkitan. “Kami mulai dari tiga pembatik, lalu terus berkembang,” kata Kori. Kini, Cemethik Studio memiliki 30 karyawan, 99% di antaranya perempuan. Mereka memproduksi tiga kategori batik:

  • Grade A, batik tulis halusan dua sisi untuk kolektor dan pameran;
  • Grade B, batik fashion dengan canting ukuran sedang;
  • Grade C, batik knuckle yang memberi kesan modern dan kontemporer.

Bagi Kori, membatik bukan sekadar bisnis, tetapi cara menghidupkan kembali gotong royong desa. Ia membina ibu-ibu di sekitar Desa Jarum, memberi pelatihan, dan menghubungkan mereka dengan pasar digital. “Perempuan Bayat punya semangat luar biasa,” katanya. “Saya hanya ingin mereka punya ruang untuk berkarya dan dihargai.”

Merekam Ulang Sejarah Batik Bayat

Dalam sesi diskusi, Kori juga membagikan hasil riset dan pengalamannya mengenai sejarah batik Bayat. Ia menjelaskan bahwa keterampilan membatik di Bayat berkembang dari perpaduan budaya keraton dan Islam. Salah satu tokoh penting adalah Pangeran Ngabdani, keturunan ketujuh Sunan Tembayat, yang menikah dengan Putri Hamengkubuwono II, R.A.Y.T. Berai Ngabdani. Diduga, sang putri memperkenalkan teknik membatik kepada masyarakat sekitar.

Selain itu, beberapa desa menjadi sentra penting: Paseban, tempat Sunan Pandanaran mengajarkan nilai kehidupan dan kesederhanaan; Jarum, yang kini dikenal sebagai desa wisata batik; dan Kebon, desa perempuan tangguh yang setelah gempa 2006 membentuk kelompok batik tulis Kebon Indah dan menembus pameran internasional.

Filosofi batik Bayat, menurut Kori, berakar pada nilai spiritual dan kesadaran hidup. Motif khas seperti Riris Pandan Mojo Arum menggambarkan perjalanan manusia: tumbuh, berkembang, dan meninggalkan jejak kebaikan. “Filosofi ini yang saya coba bawa ke Cemetik Studio,” ujarnya. “Kami ingin setiap karya punya makna dan menyampaikan pesan kehidupan.”

Dialog Antargenerasi: Dari Tradisi ke Masa Depan

Moderator Wayan Lessy menyoroti pentingnya regenerasi dalam dunia batik. Ia menanyakan bagaimana Kori memandang keseimbangan antara tradisi dan inovasi. “Saya percaya, batik itu bukan museum,” jawab Kori lugas. “Ia harus hidup, bergerak, dan menyesuaikan zaman tanpa kehilangan ruhnya.”

Pandangan ini disambut hangat oleh host Agus Purwanto. Ia menegaskan bahwa kehadiran pembatik muda seperti Kori adalah bukti nyata bahwa warisan budaya bisa beradaptasi dengan era digital. “Anak muda seperti Mbak Kori bukan hanya penerus, tapi juga penggerak,” ucap Agus. “Mereka menjadikan batik bukan nostalgia, melainkan masa depan.”

Webinar yang diikuti ratusan peserta dari berbagai daerah ini berlangsung interaktif. Beberapa penanya menyinggung tentang strategi pemasaran batik di era digital dan cara mempertahankan kualitas. Kori menekankan pentingnya riset pasar, transparansi proses, serta penggunaan media sosial sebagai etalase yang jujur dan inspiratif.

“Generasi sekarang mencari cerita,” katanya. “Jadi jangan hanya menjual kain, tapi juga kisah di balik cantingnya.”

Menutup Perjalanan, Membuka Harapan

Menjelang akhir acara, moderator dan narasumber sepakat bahwa Batik Bayat adalah contoh sempurna bagaimana tradisi lokal bisa menjadi kekuatan nasional. Melalui sinergi antara perajin, pengusaha, akademisi, dan komunitas, batik dapat terus bertumbuh menjadi industri kreatif yang berkelanjutan.

Cemetik Studio dan sosok Lutfi Koriah Yunani menjadi simbol kebangkitan itu—perpaduan antara tangan terampil, pikiran muda, dan hati yang berpijak pada nilai-nilai leluhur. Bayat bukan sekadar tempat di peta, tetapi ruang hidup yang terus menenun kisah manusia dengan warna-warna budaya.

Webinar ditutup dengan pesan dari host Agus Purwanto: “Rukun, bersinergi, dan terus berkarya—itulah semangat batik Indonesia.” Pesan yang sederhana, namun menggema kuat di hati semua peserta, seolah menjadi penanda bahwa perjalanan batik Bayat belum berakhir. Ia masih terus berlanjut, seperti aliran malam yang tak pernah berhenti menulis kisah pada kain kehidupan.

Written by Batiklopedia

Batiklopedia.com merupakan portal berita spesialis yang mengangkat isu seputaran dunia batik dan wastra Nusantara. Tujuan awal pembuatannya adalah untuk mendokumentasikan pelbagai hal berkaitan dengan upaya pelestarian dan pengembangan batik Indonesia.

Lutfi Koriah Yunani, Semangat Generasi Z di Balik Cemetik Studio

Lutfi Koriah Yunani: Batik Bayat dan Semangat Generasi Z

Batik sebagai Inclusive Capitalism

Batik sebagai Inclusive Capitalism