Batik, yang dahulu merupakan ekspresi spiritual, sosial, dan identitas budaya, kini telah menjadi komoditas ekonomi bernilai tinggi. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan penting: sejauh mana komodifikasi batik masih dapat diterima tanpa mengikis nilai-nilai yang melekat di dalamnya? Proses menjadikan batik sebagai barang dagangan membawa peluang ekonomi, namun juga mengandung risiko reduksi makna budaya menjadi sekadar estetika dan tren pasar.
Dalam kajian budaya, komodifikasi dipahami sebagai proses mengubah nilai simbolik menjadi nilai tukar. Ketika batik dijadikan produk fesyen massal, ia berpindah dari ranah sakral menuju ranah komersial. Motif-motif yang dulu hanya digunakan dalam upacara adat kini muncul di kafe, tas, bahkan sneakers. Fenomena ini memperlihatkan keberhasilan batik menembus pasar global, tetapi sekaligus menimbulkan kekhawatiran: apakah komersialisasi ini masih menghormati asal-usulnya?
Dari sisi ekonomi, komodifikasi batik berkontribusi besar terhadap pertumbuhan industri kreatif nasional. Menurut data Kementerian Perindustrian, nilai ekspor batik dan produk turunannya mencapai ratusan juta dolar per tahun. Industri ini menyerap ratusan ribu tenaga kerja, terutama perempuan, di berbagai sentra batik seperti Pekalongan, Lasem, dan Madura. Namun, keuntungan terbesar seringkali mengalir ke merek besar dan pelaku desain, bukan kepada pembatik tradisional yang menjadi penopang utama produksi.
Dalam konteks ini, komodifikasi perlu ditakar secara kritis. Pertama, dari sisi ekonomi moral: apakah proses produksi dan distribusi batik memberi kesejahteraan yang adil bagi perajin? Kedua, dari sisi kultural: apakah motif dan filosofi batik tetap dihormati dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan komersial semata? Ketiga, dari sisi lingkungan: apakah produksi batik modern memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan penggunaan pewarna alami?
Menakar komodifikasi juga berarti menimbang antara pelestarian dan inovasi. Inovasi dibutuhkan agar batik tetap relevan di pasar global, tetapi pelestarian menjadi penting agar akar budayanya tidak tercerabut. Strategi seperti pelabelan authentic handmade, sertifikasi indikasi geografis, dan sistem royalti bagi pembatik dapat menjadi jembatan antara dua kepentingan ini.
Pemerintah, lembaga budaya, dan pelaku industri memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa komodifikasi batik tidak menjadi bentuk kolonialisme baru atas budaya lokal. Upaya pelestarian digital motif-motif klasik, pendokumentasian filosofi, dan edukasi konsumen tentang etika membeli batik dapat memperkuat posisi batik sebagai warisan yang hidup, bukan sekadar produk yang dijual.
Pada akhirnya, komodifikasi batik bukanlah sesuatu yang harus ditolak sepenuhnya. Ia adalah keniscayaan dalam sistem ekonomi modern. Namun, yang perlu diawasi adalah bagaimana prosesnya dijalankan: apakah ia memuliakan pembuatnya, menghargai sejarahnya, dan menjaga kesinambungan alamnya? Jika jawabannya ya, maka komodifikasi batik justru menjadi cara baru untuk menghidupkan budaya—bukan menguburnya di bawah label harga.

