in

LIPI Kembangkan Sistem Enzim dan Mikroba Pengurai Limbah Cair Batik

LIPI

Limbah yang terbuang merupakan senyawaan yang persisten dan dapat terakumulasi hingga mencapai level toksik bagi sistem kehidupan aquatik. LIPI mengembangkan sistem enzim dan mikroba di dalam bioreaktor untuk mengurai limbah cair industri batik. Teknologi ini diharapkan dapat mengubah wajah industri batik Indonesia lebih ramah lingkungan.

Beberapa pekan terakhir, sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta diserbu pembeli untuk memenuhi kebutuhan Lebaran. Maklum, bagi masyarakat Indonesia, momen Lebaran identik dengan busana baru agar tampil beda ketimbang hari biasa.

Nah, busana batik memang memiliki pesona dan kebanggaan tersendiri bagi siapa saja yang memakainya. Apalagi, busana batik telah menjadi identitas budaya Indonesia yang telah diakui Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB pada 2009.

Pemerintah Indonesia juga merespons pengukuhan itu dengan menetapkan setiap 2 Oktober sebagai Hari Batik Indonesia. Begitu pula instansi-instansi di negeri ini yang turut mendukung dengan mewajibkan karyawan atau pegawai mengenakan busana batik di hari tertentu pada setiap pekan.

Tak pelak, busana batik masih menjadi pilihan masyarakat untuk menyambut Lebaran, yang nantinya bisa dipakai untuk aktivitas kerja. Bagi pengrajin dan penjual busana batik yang kreatif mengembangkan model dan corak, momen Lebaran tahun ini membawa berkah tersendiri.

Penjualan busana batik menjelang Lebaran lumayan. Tapi penjualan tidak seperti Lebaran tahun lalu, mungkin saat ini ada pengaruh bertepatan dengan tahun ajaran baru, ujar pengrajin batik asal Solo, Jawa Tengah, Yanto, ditemui di Pusat Batik Nusantara, Thamrin City, Jakarta, Jumat (18/7).

Penjulan batik tersebut otomatis berimbas terhadap peningkatan produksi. Namun, permintaan busana batik itu juga berdampak terhadap masalah lingkungan di tempat produksi, terutama limbah cair setelah proses pewarnaan.

Menurut Yanto, proses pewarnaan kain antara 100 200 yard membutuhkan bahan pewarna kimia sekitar 1 ons. Sisa cairan pewarna itu kemudian dibuang langsung ke alam tanpa diolah terlebih dulu. Ada saluran khusus pembuangan, kata Yanto yang memunyai usaha kecil menengah (UKM) batik di Kauman, Solo.

Pencemaran Sungai

Tak mengherankan jika Kementerian Lingkungan Hidup pernah mengungkapkan UKM batik sebagai salah satu penyebab pencemaran sungai terburuk di Indonesia. Penyebab pencemaran itu, menurut Clean Batik Initiative (CBI), karena dalam industri Batik ada sekitar 20 hingga 30 pewarna dan bahan-bahan kimia.

Air sungai yang tercemar itu dikhawatirkan mengancam kelestarian ekosistem sungai sekaligus kehidupan masyarakat di sekitarnya. Bahan pewarna dan kimia itu berbahaya bagi kesehatan manusia, mulai dari iritasi hingga kanker kulit.

Buangan limbah tekstil dari industri umumnya mengandung senyawaan berwarna dan toksik dengan karakteristik pH dan salinitas yang lebar, ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dede Heri Yuli Yanto, yang kini menempuh program doktor di United Graduate School of Agricultural Science, Ehime University (UGAS-EU), Jepang, kepada Koran Jakarta melalui surat elektronik, medio Juli.

Karena teknik yang kurang efisien, lanjut Dede, biasanya sekitar 10 15 persen pewarna terbuang selama proses pewarnaan. Selain itu, sekitar 2 20 persen menjadi limbah yang langsung terbuang ke lingkungan.

Ironisnya, limbah yang terbuang itu merupakan senyawaan yang persisten dan dapat terakumulasi hingga mencapai level toksik bagi sistem kehidupan aquatik. Di antara senyawaan pewarna yang sering digunakan adalah senyawaan Azo (kelas senyawaan kimia terbesar dari pewarna sintetik).

Dede menguraikan pewarna azo sengaja didesain untuk penggunaan yang tahan lama karena ikatannya kuat. Tak heran, ketika terbuang, senyawaan azo bersifat resisten terhadap proses penguraian melalui treatment limbah secara konvensional.

Metode konvensional secara fisika, mekanik, dan kimia biasanya kurang efektif dalam untuk menguraikan limbah ini, di samping karena terkendala oleh biaya yang sangat tinggi dan kurang adaptasi terhadap pH dan salinitas yang lebar.

Ditambah lagi, metode fisika, kimia, dan mekanik ini biasanya hanya efektif untuk proses penghilangan warna limbah tekstil jika volume buangannya kecil, tapi sering gagal untuk mengurangi toksistas limbah buangan, apalagi pada volume buangan yang besar, ujar ilmuwan yang tergabung dalam Kelompok Peneliti Teknologi Proses Biomasa dan Bioremediasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI .

Pada sisi lain, menurut Dede, treatment secara biologi berdasarkan penghilangan warna dengan menggunakan mikroba dan enzim menawarkan strategi yang potential, tidak hanya mampu menghilangkan warna dari limbah buangan tekstil, tapi juga mampu menurunkan toksistas.

Akan tetapi, karena sifat fisik dan kimia buangan pewarna tekstil umumnya memiliki rentang pH dan salinitas yang lebar, menimbulkan hambatan bagi beberapa mikroba untuk menguraikannya, tandas dia.

Enzim dan Mikroba

Berangkat dari permasalahan tersebut, Dede dalam beberapa tahun terakhir berupaya melakukan penelitian untuk menemukan mikroba tangguh dalam pH dan salinitas yang lebar. Di samping itu, dia juga meneliti metode mempercepat laju penguraian pewarna tekstil karena volume buangan pewarna tekstil umumnya sangat tinggi.

Walhasil, Dede menemukan teknologi penghilangan warna limbah tekstil dengan sangat cepat dan dapat digunakan untuk kapasitas volume buangan yang besar. Dia menggunakan sistem enzim dan mikroba tertentu yang ditempatkan di dalam bioreactor berkelanjutan.

Limbah pewarna tekstil kemudian dialirkan ke dalam bioreactor tersebut dengan laju alir tertentu sehingga hanya dalam hitungan jam pewarna tertentu sudah dapat terdegradasi secara sempurna (lihat grafis). Hasilnya tentu sudah menjadi senyawa yang tidak toksik lagi, klaim Dede.

Menurut Dede, sistem mikroba dan enzim tersebut mampu secara efektif menguraikan ikatan azo (N=N) pada limbah tekstil. Hasilnya proses pemutusan ikatan berlangsung cepat sehingga penghilangan warna yang berasal dari ikatan terkonjugasi ini juga dapat berlangsung dengan cepat pula, tandas dia.

Untuk pewarna jenis lain, tutup Dede, seperti pewarna jenis antraquinone serta yang tidak mengandung ikatan azo prosesnya dapat berlangsung lebih cepat lagi sekitar 2 3 jam. Nah, temuan sistem ini diharapkan dapat menjadikan industri batik, terutama yang masih menggunakan bahan kimia agar ramah lingkungan.
Sumber : koran-jakarta.com, 27 Juli 2014

Sertijab Kemenperin

Sertijab Menperin Baru, Saleh Husin Himbau Lanjutkan Kebijakan Pengembangan Industri Yang Telah Berjalan

Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia

Koperasi Harus Hidup Asalkan Direformasi