Di setiap resepsi pernikahan, khitanan, atau acara keluarga besar di Indonesia, batik hampir selalu hadir. Ia bukan sekadar pilihan busana yang “aman”, tetapi sebuah bahasa sosial yang mencerminkan siapa kita, dari mana kita berasal, dan bagaimana kita menghargai momen. Batik kondangan mengandung lapisan makna: tradisi, kesopanan, estetika, hingga dukungan ekonomi bagi para pembatik yang menjaga napas kebudayaan.

Akar kebiasaan ini bisa ditelusuri jauh ke masa lalu. Di kerajaan-kerajaan Jawa dan daerah lain di Nusantara, kain bercorak simbolik digunakan dalam upacara adat dan prosesi resmi. Setelah kemerdekaan, batik menjadi pakaian nasional—lambang identitas yang layak dikenakan di acara formal. Kini, dalam resepsi modern, batik menjadi semacam “kode sosial” yang tak tertulis. Pola klasik tulis menandakan penghormatan dan formalitas, sementara batik cap atau print kontemporer memberi ruang ekspresi bagi tamu muda dan acara yang lebih santai.
Etika berpakaian juga membentuk perilaku kolektif: warna-warna cerah untuk perayaan, hindari putih bersih yang identik dengan pengantin, dan pilih motif yang sopan. Di banyak daerah, keluarga inti mengenakan batik seragam sebagai penanda kedekatan, sementara tamu memilih motif lokal sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah. Dalam undangan pun kini lazim muncul aturan berpakaian “batik formal” atau “ethnic attire”, menandakan penerimaan batik sebagai norma sosial yang disepakati bersama.
Keragaman Indonesia turut memperkaya pilihan batik di acara resepsi. Motif Pekalongan yang luwes, Solo yang halus dan penuh makna filosofi, hingga Madura yang berani dan berwarna terang, semua memiliki konteks dan pesan masing-masing. Namun di tengah kebanggaan itu, muncul tantangan baru: bagaimana menjaga nilai budaya di era mode cepat dan produksi massal.
Generasi muda kini menafsirkan batik dengan gaya baru—kemeja slim fit, dress modern, bahkan jumpsuit—membuat batik tetap hidup dalam konteks kontemporer. Akan tetapi, muncul pula pertanyaan etis: apakah batik hanya menjadi tren estetika tanpa pemahaman budaya? Desainer dan komunitas batik mulai menggagas etika baru: menghargai asal motif, bekerja sama dengan perajin lokal, dan memastikan setiap potong kain memiliki jejak produksi yang adil.
Kebiasaan berbatik di resepsi juga memberi dampak nyata bagi ekonomi lokal. Permintaan meningkat pada musim pernikahan atau hari besar, membuka peluang bagi pembatik dan penjahit. Namun tantangannya adalah bagaimana nilai ekonomi itu dibagi secara adil. Batik cap dan print massal cenderung menekan harga, sementara batik tulis bernilai tinggi sulit diakses. Solusi yang kini mulai digagas antara lain koperasi pembatik, label keaslian, dan kampanye etika berpakaian yang sadar budaya.
Pada akhirnya, berbatik di acara resepsi adalah lebih dari sekadar berpakaian rapi. Ia adalah tindakan budaya—menghormati tuan rumah, merawat tradisi, dan menenun kembali hubungan antara seni, identitas, dan kesejahteraan pembatik. Setiap motif yang kita kenakan membawa kisah tangan yang membuatnya, dan dalam tiap resepsi yang kita hadiri, batik menjahit kembali makna kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.

