in

Batik Motif Pegajahan, Kisah Sufi Para Santri

Batiklopedia.com pernah mengangkat batik motif Pegajahan ke dalam bentuk fashion. Namun latar belakang dari batik motif Pegajahan ini baru diulas saat ini. Alasannya, motif ini punya garis panjang dari sejarah keberadaan keraton Cirebon. Motif ini sempat hilang tersimpan rapi oleh para pewarisnya. Ketika pemilik Batik Komar terkesan dengan motif tersebut, ia pun melakukan penelusuran tentang keberadaan motif tersebut.
Batik Motif Pegajahan
Batik Motif Pegajahan Dengan Ragam Hias Kepala Gajah

 

Oleh Komarudin Kudiya, pemilik Batik Komar, dijelaskan bahwa batik Pegajahan adalah nama wilayah di Kota Cirebon yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari Keraton Kanomanan.

“Pada jaman dahulu sekitar abad 16 M daerah Pegajahan berdasarkan penuturan Elang Yoppy, cucu dari PH. Insan Martawijaya yang merupakan garis keturunan Keraton Kanoman menyampaikan di daerah Pegajahan merupakan lokasi atau tempat untuk peristirahatan binatang gajah yang dimiliki oleh Keraton Kasepuhan. Daerah tersebut kini dikenal dengan nama daerah Pegajahan,” tutur Komarudin Kudiya menjelaskan asal-muasal batik Pegajahan.

Batik Motif PegajahanBatik Motif Pegajahan Dalam Ragam Hias Ayam Katewono

 

Disebutkan olehnya pula bahwa batik Pegajahan merupakan salah-satu sumber penghasil batik yang khusus digunakan bagi sultan beserta keluarga keraton Kacirebonan. “Berdasarkan penuturan Elang Dedy putra dari PH. Adi Mulya atau cucu dari PH. Insan Martawijaya menuturkan, penerus batik Pegajahan dilanjutkan oleh garis keturunan Keraton Kanoman,” tambahnya.

Komarudin Kudiya pun menjelaskan ragam hias batik Pegajahan berunsur Gajah, Pandan Wangi, Ayam Alas, Kijing, Wadasan dan Megamendung. “Pada saat Pangeran Insan Martawijaya masih hidup sekitar tahun 1940 beliau aktif mengajarkan ilmu Tarekat kepada para murid-muridnya. Kegiatan membatik dilakukan pada saat murid-murid tersebut sedang memiliki waktu luang diluar waktu belajar,” ungkapnya.

Keahlian membuat batik Pegajahan diserahkan oleh murid PH. Insan Martawijaya, Bapak Kibol dan Bi Mini. Ketika keduanya wafat, sebagian dari karya-karya ragam hias motifnya diberikan kepada salah satu pengikutnya yang setia yaitu Bapak Madmil (alm) yang berasal dari desa Trusmi Plered Cirebon.

 

Lukisan Mahluk Hidup

Batik Motif PegajahanBatik Motif Pegajahan Dalam Ragam Hias Taman Arum

 

Komarudin Kudiya melakukan penelitian mendalam tentang latar-belakang motif batik Pegajahan. Bahkan hingga ke lingkup religi dimana aturan dan tata krama membuat batik Pegajahan dihidupkan. Dan ia mengkaji utamanya adalah aspek hukum agama tentang lukisan mahluk hidup.

“Dalam pendapat ulama Islam terdapat larangan menggambar sosok mahluk hidup dalam bentuk figuratif. Tetapi ada juga yang membolehkan hadirnya lukisan figuratif. Perdebatan itu masih ada hingga kini.”

Pandangan bahwa lukisan figuratif tidak dibenarkan dalam Islam ditelusuri bersumber dari teks-teks abad ke-11 dan 12 M, ketika ulama fiqih dan ilmu syariat mulai dominan dalam Islam. Dan mulai bertabrakan pandangan dengan para filosof (hukama) dan sufi berkaitan dengan manfaat seni dalam peradaban religius. Teks-teks sebelum abad tersebut malah tidak mempersoalkan kehadiran lukisan figuratif.

Batik Motif PegajahanBatik Motif Pegajahan Dalam Ragam Hias Sawat Paksi

 

Berdasarkan buku Islam and Moslem Art karangan Alexandre Papadopulo tahun 1979, dikatakan bahwa seni lukis Islam berkembang semarak antara tahun 1335-1350 M dan berakar pada tradisi seni lukis Persia yang berkembang di Mesir pada abad ke-10 M. Walaupun dipengaruhi seni lukis Cina, namun motif estetik yang melandasi penciptaan seni lukis Islam pada waktu itu sangat berbeda dengan motif estetik pelukis Cina.

“Motif pelukis Cina didasarkan pada Taoisme yang menganjurkan gagasan penyatuan dengan alam. Karena itu lukisan Cina didominasi lukisan tentang alam. Teori yang mereka gunakan ialah teori representasi dengan pendekatan semi naturilistik.”

Pelukis Muslim bersikap sebaliknya. Meniru gambar alam atau membuat lukisan dengan mengedepankan hasil penyerapan indera berarti merendahkan peranan akal pikiran dan imajinasi, yang merupakan tanda utama keunggulan manusia dari makhluk lain. Karena mengedepankan akal pikiran dan imajinasi maka yang dihasilkan ialah lukisan yang bukan sekadar representasi dari obyek-obyek yang dapat diserap indera, apalagi tiruan dari obyek. Lukisan-lukisan karya seniman muslim cenderung adalah hasil stilisasi dan simbolisasi atas bentuk atau tidak jarang cenderung ke abstrak imaginatif.

Dirinya mengutip pernyataan Maulana Rumi, yang menjelaskan lukisan ialah cermin penglihatan kalbu yang sanggup menerima kesan atau pantulan dari dunia luar dengan baik. Dan melalui cermin penglihatan kalbu itulah sebuah lukisan memantul.

Berdasarkan pernyataan Rumi, lukisan menyamakan gambar dengan bayang-bayang dalam cermin. Sebagaimana bayang-bayang dalam cermin, gambar dalam lukisan tidak bernyawa. Nyawa diciptakan oleh Tuhan dan ia berada di tempat lain tidak dalam cermin. Kalau gambar lukisan seperti bayang-bayang dalam cermin, maka gambar yang sesungguhnya tidak hadir dalam cermin. Gambar yang sesungguhnya tersembunyi dalam jiwa si pelukis.

Melalui cara demikian itulah para sastrawan Persia membela kedudukan pelukis dan seni lukis dalam peradaban Islam. Mereka membela pelukis dari tuduhan yang menganggap mereka menggambar makhluk hidup. Pelukis tidak menggambar makhluk hidup, tetapi menghadirkan gambar berdasar apa yang dilihat dalam imajinasinya.

Hal ini sejalan dengan seni lukis batik atau yang dikenal dengan seni batik tradisional.

Para seniman batik yang dalam hal ini para murid atau santri yang menjalankan ilmu tarekat, dalam menuangkan ide, gagasan serta imajinasinya, ketika membuat ragam hias batik akan membentuk motif-motif hewan dengan distilasi semaksimal mungkin serta tidak nampak jelas bahwa yang digambarnya berupa makhluk hidup.

Karena itu gambar dalam seni batik tidaklah bernyawa. Bahkan gambar binatang dibentuk seperti sulur tanaman yang secara eksplisit menyerupai wujud dari makhluk hidup namun tidak persis seperti wujud asli binatang tersebut.

 

Lahir Dari Ilmu Tarekat

Batik Motif Pegajahan

 

Tarekat Syattariyah yang berkembang di Cirebon berasal dari dua tradisi, yakni tradisi Kraton dan tradisi Pesantren (Muhaimin, 1995, 2002). Menurut Achmad Opan Safari, ajaran Tarekat Syattariyah tersebut bukanlah ajaran yang melegalkan seseorang untuk tarku al-syar’i, karena dalam tarekat itu kesempurnaan seseorang untuk mencapai derajat yang luhur di sisi Allah, hanya dapat dilakukan setelah menyempurnakan kewajiban syari’atnya. Safari juga menjelaskan berbagai simbol yang ada dalam iluminasi naskah yang dikajinya, seperti iluminasi 3 (tiga) ikan (iwak), motif gajah, dan lain sebagainya.

Secara etimologi Tarekat berasal dari kata bahasa Arab Tariqatun yang berarti jalan atau mazhab atau cara. Tarekat secara luas diartikan sebagai suatu sistem atau petunjuk atau metode pelaksaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid dengan cara melakukan susuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridho Allah dengan dibimbing oleh seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah ilmu tarekat sampai kepada Nabi Muhammad SAW (Irianto, 2012:6). Masih menurut Irianto, Syattariyah diambil dari nama Abdullah Syatari atau Abdullah asy-Syattar, orang yang mempopulerkan Tarekat Syattariyah pada abad 15 dan pertama kali muncul di India.

Menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari bahasa Arab “thariqah” yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi (tarikat). Tiap tarikat mempunyai Syaikh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendiri. Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu.

Secara etimologi, kata tasawwuf berasal dari bahasa Arab yaitu katashuuf yang memiliki arti bulu. Ketika itu para ahli tasawwuf memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba sebagai lambang merendahkan diri kepada Allah.

Menurut Safari, dikatakan bahwa hubungan antara tarekat dan tasawwuf sangatlah dekat dan memiliki pertalian yang sangat susah untuk dipisahkan. Sedangkan menurut Noer Iskandar mendefinisikan bahwa tasawwuf adalah kesadaran murni (fitrah) yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.

Istilah tasawuf selaras dengan sufisme, nama lain dari mistik Islam. Secara universal, tasawuf adalah falsafah hidup dan metode tertentu dalam suluk yang dilakukan manusia untuk merealisasikan kesempurnaan akhlak, pemahaman tentang hakekatnya, dan kebahagiaan ruhaninya. Walaupun definisi tasawuf tersebut nampaknya berbeda-beda, namun kiranya ada kesamaan untuk kategorisasi karakterisktik tasawuf (sufisme).

Dari kelima karakteristik satu diantaranya adalah al-ramziyah fi al-ta’bir (simbolisme dalam pengungkapannya). Dimana terdapat dua makna dalam tradisi sufi tentang simbolisme ini; pertama, dilihat dari dhahirnya kata-kata; kedua, dilihat dari analisis (al-tahlil) dan kedalamannya. Hanya para sufi sajalah yang dapat merasakan makna yang kedua tersebut. Sebab, setiap sufi mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan kondisi yang dialaminya. Simbolisme inilah, makanya sufi dekat dengan seni.

 

Berbasis Santri

Religiusitas diartikan sebagai pemahaman tingkat agama (understanding of religion level). Sedangkan santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah orang yg mendalami agama Islam; atau orang yg beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yg saleh (KBBI). Sedangkan tempat dimana santri menuntut ilmu disebutnya pesantren.

Ada yang menyebut, santri diambil dari bahasa ‘tamil’ yang berarti ‘guru mengaji’, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india ‘shastri’ yang berarti ‘orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci’. Pendapat lainnya mengatakan bahwa kata santri berasal dari kata ‘Cantrik’ (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru.

Oleh Komarudin Kudiya, religiusitas santri bisa diartikan sebagai tahapan atau tingkatan santri saat mendalami agama islam dan beribadah sungguh-sungguh. Dalam kaitannya dengan dunia seni, seorang santri dengan tingkat religiusitas yang dimilikinya akan menghasilkan suatu karya seni yang tingkat kedalamannya bisa melebihi batas-batas perasaan, imajinasi, alam pikiran dan intuisi manusia normal pada umumnya.

Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Abdul Hadi, sebuah karya seni yang berhubungan dengan bentuk spiritualitas dan agama tertentu, punya pemahaman dan penghayatan dari si pencipta bentuk berdasarkan spiritualitas dan agamanya. Pengalaman relijius tersebutlah yang tersaji dalam karyanya.

Motif batik Pegajahan yang lama terpendam, kini diungkap kembali oleh Komarudin Kudiya dari penelusuran demi penelurusannya. Dan kini motif Pegajahan muncul kembali sebagai bagian dari khazanah motif batik Indonesia yang bernilai adiluhung.

 

batik indonesia

Batik Indonesia, Kolaburasi Bateeq Dan Suzuki Takayuki

Batik Minang

Batik Minang Ingin Berjaya Seperti Batik Jawa